Jurnalis24.Com- Medan || Fenomena kekerasan terhadap perempuan dalam berbagai sektor kehidupan manusia tampaknya semakin menampakkan drinya sebagai ciri masyarakat modern.
Rasanya Komnas Perempuan yang lahir dari tuntutan masyarakat sipil, terutama kaum perempuan, belum optimal untuk mewujudkan tanggung jawab negara dalam kekerasan terhadap perempuan.
Pasalnya, kekerasan terhadap perempuan dan anak terus meningkat, banyak korban kesulitan melapor atau bahkan tidak berani untuk melaporkan atas kekerasan yang mereka alami. Hal tersebut menuai kritik bahwa Komnas Anti Kekerasan Terhadap Perempuan tidak dapat merangkul hingga ke akar.
Kekerasan yang berujung kematian juga semakin mendekati kaum hawa. Hal tersebut dapat dilihat dari kasus yang terjadi di Medan,Sumatera Utara dengan korban mahasiswi.
Bunga Lestari, mahasiswi Politeknik Negeri Medan (Polmed) yang tewas ditikam 16 kali pada bagian kepala dan punggung dengan pisau dapur. Pembunuhan berencana yang dilakukan Ramadhan Hasibuan sudah dipersiapkan dua hari sebelumnya. Atas tindakannya, pelaku dijerat Pasal 340 Subs Pasal 351 Ayat 3 KUHP Peristiwa yang terjadi di kamar kos korban tersebut sempat menggegerkan masyarakat dan menjadi peringatan hati-hati khususnya untuk mahasiswi yang jauh dari jangkauan orangtua
“Mirisnya, motif pembunuhan tersebut adalah balas dendam akibat sakit hati terhadap tuduhan maling laptop. Sakit hati harus dibalas sampai mati? Ketakutan akan semakin menyelimuti perempuan, ketidakmasuk-akalan motifnya harus diberikan ketegasan dan keadilan.” Ungkap Rafalinsi, Wagub Pema Vokasi
"Kami meminta untuk ketegasan Penegak Hukum terutama di Sumatera Utara untuk lebih serius dan responsif dalam penanganan kadus kekerasan terhadap perempuan di Sumatera Utara. Dan kami meminta bentuk tindak lanjut pemerintah untuk segera berupaya melakukan segala bentuk pencegahan akan kekerasan terhadap perempuan. Jangan sampai pelaku kejahatan semakin merajalela karena ketidak tegasan penegak hukum di Sumatera Utara." Tegas Rafalinsi.
Juga kasus tragis yang menyebabkan kematian mahasiswi FISIP USU, Mahira Dinabila pada 3 mei lalu menuai banyak asumsi. “Misteri kematian Mahira menimbulkan banyak kecurigaan terkait kematian tersebut, seperti ayah angkat yang menolak autopsi jenazah dan menolak pemeriksaan barang bukti berupa Handphone milik korban dan surat yang diduga ditulis oleh korban tentang keluarganya adalah palsu. “ ungkap Irayana Sihotang selaku Menkopolhukam PEMA USU
Diduga kasus ini sangat erat kaitannya dengan warisan rumah yang ditinggalkan oleh ibu angkatnya kepada Mahira sehingga menimbulkan asumsi publik bahwa ayah angkat sebagai tersangka dari kasus ini.
Dalam pasal 133 ayat 1 KUHAP diyatakan bahwa
Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya
Dimana dalam ayat ini terdapat beberapa unsur yaitu
1. Hal penyidik untuk kepentingan peradilan
2. Korban baik luka, keracunan ataupun mati
3. Peristiwa yang merupakan tindak pidana
4. Mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter
Dimana apabila ditelaah dari seluruh unsur tersebut, maka kasus ini memenuhi seluruh unsur tersebut sehingga dalam hal ini polisi diwajibkan untuk melaksanakan autopsi sebagaimana dinyatakan dalam pasal 135 KUHAP
Keluarga (ayah angkat) wajib untuk memberikan izin pelaksanaan autopsi terhadap mayat korban dan apabila keluarganya tetap berkeberatan dan menentang menghalang-halangi untuk diadakan pemeriksaan bedah mayat, maka terhadap mereka diancam dengan ketentuan Pasal 222 KUHP.
"Atas nama kemanusiaan dan solidaritas mahasiswa, saya berharap seluruh elemen mahasiswa berani menyuarakan, menolak secara tegas segala bentuk kekerasan terhadap perempuan, dan meminta seluruh lembaga penegak hukum agar bertindak lebih cepat. Kemanusiaan diatas segala kepentingan dan hukum. Apabila hal ini dikaitkan dengan kronologi kasus Mahira maka muncul dugaan ayah angkat Mahira melakukan tindak pidana pembunuhan berencana sebagaimana dimaksud dalam pasal 340 KUHP." Tegas Irayana
Maraknya kasus kekerasan terhadap perempuan menimbulkan perspektif bahwa manusia tidak lagi hidup langsung secara bebas dengan alam lingkungannya.
Dinilai lebih lemah dari kaum adam, sepantasnya kita mengawal kasus kekerasan terhadap perempuan bersama-sama. Tuntut keadilan setinggi-tingginya dan sepantasnya. (red_ji)